Jumat, 17 Juli 2015

Catatan untuk "Cinta Sang Pialang"

julius jera rema
Oleh : Julius Jera Rema

"Bastian tiba-tiba memalingkan wajahnya......Apalagi ketika dia melihat Kartika tiba -tiba memasukan tangan kanan ke payudara kirinya sesaat." "Kartika tidak mengenakan BH hanya kaos oblong. Bentuk dadanya terpampang jelas. Bastian melirik ke arah puting payudara yang menampakkan diri."

Hanya dua paragraf dalam "Cinta Sang Pialang, yang bertutur tentang yang "wild", liar, namun tidak jenaka itu. Payudara, itu kata yang benar tetapi kurang tepat untuk "Cinta Sang Pialang." Ini soal diksi. Payudara itu susu. Ia dekat dan pas dengan asosiasi dari penggambaran tentang "kanker payudara" atau "susu ibu".

Agar genial, nakal, mengapa tidak memakai buah dada? Buah dada itu genit, menggemaskan. Sudah pasti, yang membaca dibawa ke imajinasi tentang yang ranum dibalik BH, milik nona-nona seusia Kartika. Saya membayangkan, paragraf "nakal" itu bernarasi,


"Kartika mencebur diri ke kolam renang. Ia laksana lumba-lumba, tenggelam lalu muncul ke permukaan. Ia menyibakan rambut basahnya. Sebahu. Sekejap, pandangannya kosong. Pakaian renang nan tipis, membalut molek tubuhnya. Ia berbaring samping kolam, menengadah langit. Buah dadanya menyembul ke udara, seolah mengolok-olok langit bahwa Kartika lebih cantik dibanding cakrawala nan biru itu. Dengan tangan kirinya, ia memanja-manja buah dada kananya. Bastian mengintip gemas dari balik tirai jendela kamar hotel itu. Bastian terpaku. Pialang itu menarik nafas dalam-dalam, mengimbangi denyut jantungnya yang berdetak kian cepat."

Novel, novel fiksi apalagi fiksi bertema cinta mesti ditulis oleh seorang pembual. Pembual dengan cita rasa sastra yang tinggi. Pembual sungguhan, yang "wild". Wild tentang imajinasinya, dan bila perlu dia mesti -dalam batas batas wajar- wild perilakunya.

Tentang perilaku, ini dimaksudkan agar pembual menjiwai yang ditulis. Meski begitu, bualan saja belum cukup. Dramatik, mesti didramatisir. Yang dramatis itu hanya bisa ditampung dalam sebuah feature yang renyah, menggoda, dan penasaran.

Feature pun mesti didukung dengan teknik penyampaian yang efektif, padat, namun menggemaskan. Ia harus pula jenaka. Di dasar segalanya, ia mesti ditopang sebaiknya-baiknya oleh diksi. Dan, jika semua itu ada, ia sudah pasti naratif.

Jujur, saya belum menemukan itu dalam "Cinta Sang Pialang". Jika pun ada, sangat minimalis. Bastian yang dicomot dari background pialang pasar modal juga tidak maksimal. Pengetahuan pasar modal yang dinarasikan sungguh terbatas. Akibatnya, tuturannya terlihat begitu awam, berkutat pada level pemula, dan terkesan dipaksakan.

Kisah awal Bastian dan Kartika terlalu datar. Background, preview pertemuan keduanya di hotel Grand Wisata, Ende tidak dramatik. Terlalu sederhana dan "dingin". Sungguh tiba-tiba, tanpa disetting dari permulaan yang sengaja dibuat penasaran. Atau mungkin saya yang keliru?

Bisa iya, tetapi minimal saya pun melahap Hemingway, Paulo Coelho, Orphan Pamuk, Sindhunata (anak bajang menggiring angin), dll. Ada pembanding di sana. Terlalu berlebihan juga perbandingan yang timpang ini disandingkan pada seorang penulis pemula. Tetapi harus menuju ke sana.

Cinta

Tentang Cinta dalam "Cinta Sang Pialang", saya menduga, Gusti (gusti adi tetiro), penulis novel ini ingin memberi "demarkasi" yang tegas bahwa cinta beda dari sex. Cinta itu psikis, sex itu fisik. Cinta itu subjektif, sex itu objektif, cinta menggerakkan, sex digerakkan.

Namun, garis pemisah itu sudah pasti sia-sia, karena cinta dan sex, psikis dan fisik, mereka bertautan, lagi beririsan, apalagi dalam cerita novel semacam "Cinta Sang Pialang". Cinta, yang juga bermakna eros, tak bisa luput begitu saja dimana Bastian dan Kartika, pria dan wanita itu memadu kasih satu sama lain.

Maka narasi tentang buah dada Kartika tidak bisa dipahami dalam makna cinta yang philia atau agape. Dengan begitu, buah dada Kartika adalah eros, maka eros bisa serta merta direduksi sebagai sex, sekaligus bisa kembali dimurnikan ke makna asalinya sebagai cinta : cinta lelaki pada perempuan, demikian sebaliknya, dalam spirit "persetubuhan" yang suci.

Kalau pun Bastian dan Kartika yg kebetulan katolik itu mencoba menafsir "Deus Caritas est", milik Paus Benedictus XVI, tetapi yang eros dalam novel ini mesti dibiarkan mengalir. Tafsir, lalu praktik mesti "disengaja" untuk dibuat tak berdaya dalam "Cinta Sang Pialang", sebab yang eros itu memikat pembaca. Apalagi eros adalah perilaku manusia yang sangat manusiawi pula.

Maka ketika melahap "Cinta Sang Pialang", saya agak heran manakala narasi tentang Bastian dan Kartika bercumbu mesrah dengan tensi tinggi di sebuah kamar di Mataloko, dalam balutan dingin malam justru tidak saya temukan di sana.

Pesan

Lalu konflik batin? Ya, ada konflik tetapi tidak maksimal. Putria di Jakarta yang mengirim pesan dengan frekuensi sangat rendah itu, tidak menggambarkan kegundahan hatinya. Jelas tidak berpadanan positif dengan batin Bastian yang sedang dihadapkan pada "godaan lain", Kartika. Konflik tentang cinta sangat terbatas dalam "Cinta Sang Pialang" dimana Bastian adalah tokohnya.

Saya berani memastikan,- juga karena ini fakta- terlalu banyak pesan yang ingin disampaikan Gusti melalui "Cinta Sang Pialang". Berseliweran di mana -mana. Tentang do'a, tentang pastor, tentang seminari, tentang adat istiadat, tentang Soekarno, tentang objek wisata, dan macam-macam.

Ini tidak salah, tetapi sudah pasti mengganggu. Gangguan terbesar tentu langsung menukik ke judul novel "Cinta Sang Pialang" dimana hampir-hampir saja judul tidak mewakili isi, demikian sebaliknya. "Cinta Sang Pialang" kehilangan magnitude "Cinta" itu.  Cinta macam apa yang hendak disampaikan Gusti?

Defence

Saya menulis catatan ini dalam spirit pertemanan yang jujur. Teman yang baik harus berbicara apa adanya, tentu dari sudut pandang teman itu. Tentu menjadi lain jika dilihat dari sudut pandang orang lain.

Saya mengenal Gusti. Ibarat mesin pabrik, kapasitas terpasang Gusti 100 persen, tetapi kapasitas terpakai baru 10 persen. Itu berarti masih tersedia 90 persen yang siap diberdayakan. Saya yang memperkenalkan anak muda ini ke dunia wartawan. Dunia yg sangat disukainya sejak masih frater di Ledalero, Flores.

Itu kata Gusti, saat pertama kali bertemu saya. Gusti punya kemampuan menulis yang sangat bagus. Dia berbakat. Dia pintar. Sayang, Gusti meninggalkan arena wartawan terlalu cepat. Karya "Cinta Sang Pialang" adalah bukti ketergesaan itu. Mestinya sedikit bersabar. Biarkan ketrampilan merangkai kata bercita rasa sastra tinggi dibentuk, ditempa, diasah, dan diuji oleh penguji yang adil bernama waktu.

Lalu, apakah menjadi penulis novel yg hebat mesti jadi wartawan? Tidak harus! Tetapi hemat saya saat jadi wartawan, ada ruang berupa halaman koran dimana kita bisa mengeksploirasi kemampuan secara maksimal. Lalu ada "interaksi" dengan publik pembaca tentang tulisan kita. Kadang karena alasan tertentu, kita terpaksa menulis dalam kondisi pergulatan batin yang hebat.

Itu akan mengasah kita, sekurang-kurangnya tentang diksi yang tepat dan efektif. Feature yang renyah dan kokoh sering kali lahir dari kelaziman menulis dalam konflik batin yang berulang-ulang. Ibarat naik sepeda, satu dua kali jatuh bangun, namun jika sudah lancar malah bisa ngebut.

Untuk editor VDS Publishing, perlu kiranya mendukung penulis pemula. Hemat saya, editor VDS Publishing berperan penting dalam mengedit, menyunting, dll dalam rangka menghasilkan karya berbobot.

Dari sudut pandang positif, kritik saya yang tampak pedas ini tidak boleh dinilai secara negatif. Apalagi, jika Gusti terjebak pada kesimpulan bahwa jjr hanya bisa kritik tetapi tidak bisa atau belum pernah menulis novel. Itu yang biasanya membuat kita bersikap defence. Tidak bersedia mengambil hal positif dari kritik yg negatif.

Di atas segalanya, ada satu hal yang mesti sy junjung setinggi langit : Gusti sudah memulainya! Itu keberanian tingkat super yang mesti dipuja setinggi-tingginya. Karya sempurna selalu lahir terlebih dulu sebagai ketidaksempurnaan. Lebih dari itu, Gusti sudah menghasilkan uang dengan menjual isi kepalanya. Ini pekerjaan mulia karena bukan korupsi, mencuri, atau menipu.

"Cinta Sang Pialang" layak dibaca oleh semua lapisan. Ini anak tangga pertama. Saya yakin akan lahir novel-novel berikut karya ana Lio ini dengan kualitas yang terus meningkat. Bravo Gusti....proud of u, bro.........!!!!

1 komentar:

  1. Terimakasih JJR, kritik yang Baik dan Benar...JJR hampir pasti mewakili pembaca -pembaca novel ini, termasuk saya. Kesimpulan yang benar: hampir tidak ada hubungan antara judul dan isi. Ketika membaca judul, saya langsung di bawa ke dalam alam petualangan CINTA bukan dari pemuda biasa sperti BASTIAN yang kebetulan saja kerja di BE tapi dari petualanngan cinta Bastian Sang Pialang... Ternyata yang saya baca dan alami hanyalah kisah perjalanan Bastian karyawan BE, mengunjungi tempat-tempat di Flores...Cinta-nya mana? Pialangnya mana? heheheh Maju terus Aji Gusti...mainkan yang 90% itu setelah yang satu ini...

    BalasHapus